Jumat, 07 November 2014

Stasiun Kereta Api Rangkasbitung, Lebak-Banten.

Jejak Peninggalan Kolonialisme di Kota Rangkasbitung, Lebak-Banten

Nama                           : Siti Sri Suhartini
Nim                             : 4322313030009

STASIUN KERETA API RANGKASBITUNG

Rangkasbitung adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia. Kota Rangkasbitung merupakan ibu kota dari Kabupaten Lebak, yang kantor Kecamatannya terletak di Jalan Sunan Kalijaga.

Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba untuk mengulas sejarah jejak peninggalan masa kolonialisme di kota Rangkasbitung dengan lokasi Stasiun Kereta Api Rangkasbitung. Bangunan Stasiun Kereta Api Rangkasbitung ini terletak di Jalan Stasiun Rangkasbitung No.1, Kelurahan Muara Ciujung Timur, Kecamatan Rangkasbitung, Lebak-Banten yang dapat ditempuh dengan jarak sekitar 1 km dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Lebak.

Dari cerita sejarah Kabupaten Lebak saya mendapat informasi bahwa Rangkasbitung sudah sejak 1851 menjadi pusat kota Lebak. Bisa dilihat dari gambar di samping mengenai ibukota Kabupaten Lebak yang pertama adalah di Lebak Parahyangan. Pemindahan ibukota Lebak Parahyangan ke Warunggunung terjadi sekitar tahun 1843. Pada tanggal 31 Maret 1851 terjadi perubahan secara resmi berdasarkan pemerintah Kolonial melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, menetapkan pememindahan ibukota Kabupaten Lebak yang sebelumnya berada di Warunggunung ke Rangkasbitung.

Stasiun ini berdasarkan catatan dioperasikan pada 1 Juli 1900, sekaligus satu-satunya stasiun besar di Provinsi Banten. Pembangunan stasiun ini ditujukan untuk menunjang sarana transportasi Kota Rangkasbitung sebagai kota industri di Banten pada masa Kolonial, karena pada masa jayanya stasiun ini merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Banten, Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota industri pertanian yang sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk membawa hasil perkebunan dan pertanian ke Jakarta, dan itu bisa diatasi dengan keberadaan Stasiun Rangkasbitung. Sampai sekarang stasiun ini masih digunakan sebagai sarana transportasi untuk menunjang transportasi darat antara kota Rangkasbitung dengan Jakarta.

Disamping stasiun ini masih difungsikan, kini stasiun Kereta Api Rangkasbitung sudah resmi menjadi salah satu Benda Cagar Budaya, berdasarkan undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten.

Langkah demi langkah kaki ini terus menyusuri jalan pinggir rel menuju jalan raya. Terlihat jelas wilayah di dekat stasiun Kereta Api Rangkasbitung merupakan pusat perekonomian di kota ini. Pasar, ruko, pertokoan dan sebuah pusat perbelanjaan bisa di temui.


Penggunaan kereta api menjadi sebuah sejarah yang sangat membanggakan ketika Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno berkunjung ke Rangkasbitung pada awal tahun 1957. Beliau melakukan perjalanan ke Rangkasbitung, Ibu kota Kabupaten Lebak sekarang, dilakukan menggunakan Kereta Api UAP, menempuh jarak 83 km melewati jalur Serpong dan Parung Panjang. Ini merupakan sejarah sangat membanggakan bagi kita warga Rangkasbitung bisa di singgahi oleh Presiden pertama Republik Indonesia.


Selain itu di Stasiun Kereta Api Rangkasbitung ada icon yang tak kalah menarik perhatian masyarakat yang hendak menggunakan jasa transportasi Kereta Api ini, yaitu menara air yang terletak di dekat Kantor Resort Jalan Rel 1.20 Catang. dan kini menara tersebut masih di fungsikan.
Sejarah juga menceritakan bahwa pada masa penjajahan Jepang, dibangun jalur Kereta Api Saketi-Bayah, yang dikenal bangunannya dikerjakan dengan kerja paksa Rhomusha, karena Jepang saat itu sangat membutuhkan batubara sebagai sumber energi, dan ujung perjalanan Kereta Api Saketi-Bayah itu adalah Stasiun Rangkasbitung, sebelum akhirnya sampai di Jakarta. Akan tetapi sayangnya jalur yang sangat bersejarah itu kini sudah tidak berfungsi lagi.
Dan menurut berita pada tanggal 11 Oktober 2010, pada hari senin pagi jam 01.40 Wib hingga pukul 03.30 Wib, stasiun ini pernah mengalami kebakaran yang cukup tragis hingga sebanyak tujuh gerbong terbakar.